Wednesday, May 22, 2013

Berbagi Rindu



Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya aku.

Saya bangga dengan pekerjaan saya. Saya bekerja di sebuah perusahaan investasi, dan saya adalah seorang business analyst ulung. Saya berpikir dengan cara ekonomi. Di pemahaman saya, perusahaan akan dimiliki oleh investor yang memiliki lebih dari 50% modal. Tidak perlu semuanya, yang penting lebih dari 50%.
Bersama kamu, saya adalah investor yang menang tender. Saya merasa memiliki 70 % modal. 70% rindu.

Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya aku.

Saya tahu, saya bodoh. Tiap hari mau-maunya saya balas SMS kamu. Cinta, aku kangen. Cinta, kamu dimana? Bisa ketemu nggak? Cinta, aku cinta kamu! Cinta, cinta, cinta. Makan itu cinta.
Tapi toh saya memakan habis cinta yang kamu berikan. Habis tak bersisa. Saya lapar setiap hari, setiap menit, setiap detik. Cinta yang bikin saya mabuk kepayang, Cinta yang bikin kamu terbang melayang. Cinta yang manis tapi juga egois.

Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya aku.

Saya juga paham, seratus persen paham, kalau saya mau tidak mau harus diam. Diam melihat kamu SMS-SMS saya. Diam melihat kamu telpon-telpon saya. Diam melihat kamu SMS-SMS dia. Diam melihat kamu telpon-telpon dia.
Tapi anehnya, dalam diam, diam-diam saya menikmati. Walaupun resikonya saya dianggap tidak punya hati. Atau jangan-jangan saya memang sengaja cari mati?

Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya aku.

Bukannya saya tidak laku, saya bukan lajang bapuk yang sukanya main-main melulu. Apalagi main rebut pasangan orang. Tapi cuma kamu selalu bisa bikin saya terbang! Cuma kamu yang bisa bikin saya merasa menang! Menang dari dia, menang dari orang yang dulu kamu sayang.
Kamu yang dulu datang kepada saya dengan rapuh. Wajahmu lusuh. Kata-katamu penuh keluh.
Saya tidak meminta kamu untuk datang begitu saja. Tapi kerapuhanmu bikin saya luluh, bikin saya tersentuh. Kemudian saya dengan mudah jatuh. Jatuh cinta kepada kamu.

Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya aku.

Saya tidak suka dia bikin kamu menangis. Saya inginnya kamu sama saya saja. Senang-senang. Saya cinta kamu, kamu cinta saya. Dan kita akan hidup bahagia bersama sama sama sama sama selamanya.
Saya suka kamu punya ponsel khusus untuk SMS saya. Saya suka account twitter-mu penuh dengan DM saya. Saya suka kamu bohong sama dia demi saya. Suka! Menurut saya itu pengorbanan, menurut saya itu butuh keberanian, menurut saya kamu mengambil resiko demi saya. Dan itu sangat seksi. Belum pernah ada orang yang seberani itu demi seorang saya.
Kemudian saya perlahan-lahan berpikir ulang, ini semua demi saya atau demi dia?

Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya aku.

Waktu saya tanya, kenapa kamu tidak bisa melepaskan dia, kamu malah menjawab balik, “Loh, memang kamu mau saya lepasin dia?”
Anehnya saya menggeleng. “Kalau kamu lepasin dia, nanti saya bakalan kepengen jadi pengganti dia buat kamu. Dan saya tahu, saya nggak bakalan bisa jadi sosok itu. Nanti saya sedih. Lebih baik seperti sekarang saja, tidak punya ekspektasi berlebihan.”
“Kok kamu bisa mikir gitu, cinta?”
“Saya seorang business analyst. Yang penting cinta dan rindu kamu lebih banyak buat saya. Tidak perlu semuanya, jadi yang berat-berat biar buat dia saja. Yang penting perusahaan—kamu—tetap milik saya.” Saya terkekeh.
Kamu malah tertawa. Kata kamu, saya lucu. “Dasar orang ekonomi, rindu saja dihitung.” kata kamu.
Saya ikut tertawa, kali ini saya menertawakan diri saya sendiri.

Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya aku.

Sampai kapan mau seperti ini? Sampai kapan mau berbagi rindu dengan yang lainnya? Sampai kapan?
Hati nurani saya hampir setiap hari meneriakkan kata-kata itu. Berdengung tidak karuan  setiap kali mendapati SMS dia di ponselmu. Pulang jam berapa? Anak-anak kangen kamu.
“Kamu mau pulang jam berapa? Anak-anak kangen kamu.” Saya mengulang SMS dari dia, menatap bola matamu lebih dalam lagi. Mencoba mencari kejujuran di sana. Mencoba menemukan cinta di sana. Kamu boleh tidak cinta dia, boleh juga tidak cinta saya—walaupun kamu panggil saya cinta—tapi kamu nggak boleh tidak cinta anak-anakmu.
“Kalau aku pulang, anak-anak udah tidur, percuma.”
“Pulang lebih cepat dong, makanya. Biar kamu bisa ketemu anak-anakmu. Kasian mereka.”
“Kan kamu sendiri tadi yang minta kita ketemuan sekarang. Aku nggak ketemu anak-anak kan juga biar bisa ketemu kamu, cinta.”
Saya tiba-tiba berdiri, meninggalkan kamu. Entah mengapa, kali ini hati nurani rasanya bergejolak tidak karuan. “Aku pulang.”

Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya aku.

Cinta, aku kangen, kamu dimana?
Cinta aku udah ketemu anak-anakku, kemarin aku ajak mereka jalan-jalan. Kamu senang? Balas SMS-ku dong.
Cinta, kamu bikin aku bingung. Aku butuh kamu.
Cinta, kamu kenapa?
Cinta, aku rindu kamu!

Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya aku.

Berbagi rindu itu buat saya mengasyikkan. Rasanya luar biasa, seperti menang lotere. Selama ini, saya merasa menang. Saya adalah pemilik kamu karena saya selalu mendapat porsi rindu yang jauh lebih besar dari dia. Saya 70%, dia 30%.
Setidaknya itulah yang saya rasakan sampai SMS dari dia datang. SMS yang mengabarkan kerinduan anak-anakmu. SMS yang meruntuhkan nurani saya.
Saya tidak hanya berbagi rindu dengan dia. Saya juga berbagi rindu dengan anak-anak kamu. Itu berarti hitungannya salah, kalau saya mendapat 70%, dia 30%, lalu anak-anakmu dapat berapa?
Saya mulai kalut, saya mulai labil. Karena saya percaya, seseorang tidak boleh tidak mendapatkan porsi rindu sama sekali. Ada pihak-pihak yang dirugikan. Itu curang, itu tidak adil. Saya seorang investor yang tidak manusiawi. Saya mengambil keuntungan terlalu banyak.
Saya melanggar hak anak-anak kamu. Saya harus mundur.

Di luar sana, banyak yang merindukanmu, tidak hanya aku.

Saya tidak rindu kamu. Saya harus memberi rindu ini untuk anak-anak kamu. 70% ya, cinta. Saya kasih semua rindu ini buat anak-anak kamu. 35% buat Annisa, 35% buat Faris. Saya ikhlas. Saya harus legawa. Saya masih bisa mencuri rindu dari siapapun. Tapi saya tidak ingin mencuri rindu anak-anakmu.
Jadi, resmi ya, Annisa dan Faris adalah pemilik modal yang terbesar sekarang.. Hehe..
Tolong bilang ke Annisa dan Faris, dapat salam ya dari Om Adrian. Bilang ke mereka, kalau mereka punya kamu, seorang ibu yang luar biasa cantik yang sangat sayang mereka.

Salam,

Adrian

Jogja, 24 Oktober 2012
Untuk semua yang sedang rindu

No comments:

Post a Comment