Friday, May 17, 2013

The Tale of Broken Hearts


Volume tape maksimum, pintu kamar dikunci triple, selain dikunci, digembok juga diganjal dengan meja belajar. Jendela ditutup rapat. Lampu dimatikan. Suara musik Gun’s and Roses membahana.
Orang normal mungkin akan buru-buru mematikan musik ini. Bisa tuli lama-lama. Tapi nampaknya Eryc tidak merasa terganggu dengan suara yang memekakkan telinga ini. Dia butuh distraksi. Dia butuh ramai. Baginya, sepi itu berbahaya. Sepi akan membuatnya bisa mendengar suara hatinya sendiri yang saat ini sedang terluka.
Yah, begitulah keadaan Eryc saat ini.
Frustasi? Iya. Saat ini hanya ada dia dan Venus, kucingnya, yang termenung diam menatap langit-langit kamar. Sesekali erangan Venus menyela suara tape Eryc. Sudah dua hari dia nggak keluar kamar. Sudah dua hari dia nggak makan. Cuma minum.
Eryc mematikan tape-nya.
Ini sudah jam sembilan malam. Hening. Venus-pun menggeliat dari tidurnya.
Sakit, pikir Eryc.
Jadi ini ya, yang namanya patah hati?
Setiap pikirannya melayang ke Vitta, gadis yang dalam waktu singkat sanggup merubah perspektifnya tentang hidup, gadis yang luar biasa berbeda dan lucu, gadis yang teramat sangat disayanginya itu—hatinya kelu, beku.
Eryc meringis. Ia menatap Venus lekat-lekat.
Cih, bahkan kucing kampret ini dikasih nama olehnya.
Kenapa ia harus memilih Nero? Kenapa bukan dia yang seribu persen mencintainya sepenuh hati. Kenapa??
Sebenarnya…
Baru kali ini Eryc merasa sekuat ini.
Kuat menahan kecewa, kuat menahan sedih, kuat menahan ragu, kuat menahan tangis, kuat menahan marah.
Eryc tahu, ia berhasil untuk menjadi kuat.
Tapi saat ini, ia lelah menjadi kuat! Seriously…
Gimana sih cara ngelupain orang yang cepat, efektif, dan efisien??
Kenapa dia nggak bisa suka sama Ferginna? Kenapa dia harus suka sama Vitta, orang yang sudah jelas-jelas nggak mencintai dia, orang yang jelas-jelas mencintai orang lain dan mencampakkan segala usaha dan pengorbanannya bahkan ketika hanya untuk melihat senyumnya???
SAKIT TAUK.
Eryc merasa mendadak matanya basah. Persetan dengan pepatah boys dont cry. Eryc tidak peduli.
Venus terbangun, seperti sadar kalau Eryc sedang dalam kondisi yang sangat hancur.
Air mata Eryc tambah lancar menetes, membasahi bulu coklat Venus. Membuat kucing itu sedikit tersentak
Baru kali ini ia merasakan perasaan sesakit ini. Letih.
Lalu apa yang harus ia lakukan? Menyerah? Atau tetap bertahan pada komitmennya semula untuk tetap mendapatkan gadis itu? Sesulit apapun itu? Komitmen jika baru akan berhenti ketika Vitta menikah?

So bittersweet
This tragedy
Won't ask for absolution

This melody
Inside of me
Still searches for solution

A twist of faith
A change of heart
Cures my infatuation

A broken heart
Provides the spark
For my determination

I never wanted you to be so full of anger (anger)
I never wanted you to be somebody else
I never wanted you to be someone afraid to know themselves
I only wanted you to see things for yourself

(Gun’s and Roses – Better)

Pilihan lagu yang salah, Ryc. Salah. Eryc menggumam dalam hati.


***

“Hmm... perpisahan yang manis.” Gumam Vitta.
Blitz kamera ada dimana-mana. Semuanya berfoto. Semuanya sibuk menyimpan kenangan mereka banyak-banyak. Yang cewek, terutama yang punya geng SMA, sibuk berkumpul. Mencoba mempergunakan kesempatan terakhir ini. Beberapa cewek yang pacarnya kelas 3 sibuk mengambil waktu berdua. Sekedar mempersiapkan diri kalau-kalau sehabis ini mungkin akan lebih susah untuk mereka ke depannya.
Vitta sendirian. Duduk di kursi paling belakang. Gelas cocktail Vitta isinya tinggal setengah. Ia menatap buah cherry yang mengapung-apung di cocktailnya, kemudian menghembuskan nafas berat. Ia sendiri sekarang. Perfect time buat kesepian di tengah keramaian.
Lamunannya terhenti oleh Samantha yang mengajaknya berfoto. Vitta menurut saja. Setelah beberapa klik, ia pun duduk lagi. Samantha melanjutkan kegiatannya mencari korban untuk berfoto lagi.
Vitta sendiri enggak berminat untuk seperti Samantha—mencoba menyimpan kenangan manisnya. Karena menurut Vitta, kalau kenangannya yang paling indah saja sudah tidak bersamanya lagi, apa yang harus disimpan? Dan kalau ia tidak bisa menyimpan kenangannya yang paling manis, maka ia tidak membutuhkan kenangan-kenangan lainnya lagi, karena rasanya tidak akan manis lagi.
Terdengar membingungkan. Tapi itulah yang Vitta rasakan.
Malam ini ia merasa sangat terpukul. Sangat terpuruk. Empty.
Vitta menelan tegukan terakhir cocktailnya. Cherrynya ia biarkan. Ia tidak suka Cherry. Kecut.
“Cherrynya nggak dimakan sekalian?”
Nero. Nero di sampingnya. Begitu humble-tampan-menghanyutkan. Vitta menatapnya kaget untuk beberapa saat.
“Eh...eh, nggak. Nggak suka.” Ia menjawab gagu. Ada apa ini? Apa yang Nero lakukan di sampingnya sekarang?
“Semenjak kita putus, kita jadi nggak pernah sms-an lagi, nggak pernah telpon-telponan lagi, dan nggak pernah jalan bareng lagi ya?”
Terus kenapa? Kangen? Nyesel kita putus? I will kill my self kalau kamu beneran ngerasa kayak gitu.
Vitta menertawakan apa yang baru saja dipikirkannya dalam hati dan sebagai gantinya ia hanya menjawab, “Iya ya...”
“Aku benci keadaan kayak ini, Vitt…”
Vitta mendongak, dadanya berdegup kencang. Ia masih belum bisa 100% melupakan Nero rupanya. “Aku butuh waktu Ro.”
“Butuh waktu buat apa?”
“Buat melupakan kamu. Buat berhenti mencintai kamu. Buat sadar dari mimpi panjangku ini. Aku butuh jeda Ro. Jeda sampai aku bisa melihat mata kamu lagi tanpa merasakan debar yang sangat membuatku terluka.”
“Aku… aku maaf…”
Nero terlihat sangat canggung dan gagu. Raut wajahnya menampakkan ekspresi penyesalan yang sangat dalam.
“Nggak perlu minta maaf Ro. Akunya aja yang sedikit konyol karena susah banget menghilangkan perasaan ini.” Vitta tersenyum lebar. “Tapi kamu harus tahu Ro, apapun yang terjadi, we will always be friends. Dan kita akan kembali berteman kok. Mungkin nggak sekarang, but I will make it. Just let me pass this one ya.”
“Dan aku tetap bisa nyobain kastengels buatan kamu?”
Sure. Hahaha.”
Nero menghela nafas. “Kamu gadis baik, Vitt. Kamu akan mendapatkan yang jauh-jauh lebih baik daripada aku. I’m pretty sure about it.”
Vitta hanya tersenyum.
See ya, aku menunggu tawaran persahabatanmu lagi.”
“Iya. Pasti.” Vitta mengangguk.
Nero mengelus rambut Vitta lembut, tersenyum, lalu berjalan menjauh. Bersamaan dengan itu Vitta bisa merasakan dadanya berdesir perih.
Vitta menatap cherry di gelas kosong cocktailnya. Ia memakannya bulat-bulat, berharap rasa kecut di buah itu bisa menutupi rasa perih yang mendera dadanya.
Tidak berapa lama kemudian kembang api tanda pesta perpisahan selesai meletus dan mengukirkan rona indah di langit malam yang cerah.
Vitta memandangnya tersenyum, ia mengusap air matanya perlahan.
Ia tahu, hidupnya tetap harus berjalan.

***

No comments:

Post a Comment