Sunday, June 2, 2013

A Trip Towards You #2



read the previous story here

To: Zakky
Zakky. Aku ada di Jakarta. Can we just meet?

Aku menghela nafas dalam. Menekan tombol send dengan tangan sedikit gemetar.
Setiap menit menantikan balasanmu seperti neraka dunia untukku. Aku tidak tahu kamu akan menjawab, bahkan berekspektasipun tak berani.
Tak berapa lama, ponselku kembali berbunyi.

From: Zakky
Hah? Kamu di Jakarta? Ada apa, May?

To: Zakky
Nggak papa, aku mau ngomong sama kamu. Bisakah ketemu?

From: Zakky
Oke. Nanti jam 7, di tempat biasanya ya.

Aku membatin. Tempat biasanya. Tidakkah kamu tahu betapa tempat itu sangat bersejarah buat aku? Buat kita.
Tempat biasanya.
Aku ingin kita bisa bersikap seperti biasanya juga, Zak. Kenapa kamu sudah tidak ingin lagi?

To: Zakky
Oke. Makasih ya masih mau ketemu aku :)

***

“Kamu ngapain, May jauh-jauh ke Jakarta?”
Kamu duduk di depanku. Menyesap kopi susu kental. Menatapku penuh tanya. Seakan kedatanganku kesini benar-benar tanpa alasan.
Seakan kamu bukanlah siapa-siapa lagi yang tidak perlu kutemui lagi.
Bagaimana bisa kamu menatapku dengan pandangan seperti itu, Zakky? You will always be somebody to me.
“Aku masih sayang kamu, Zak.” Ucapku lamat-lamat. Jantungku mencelos.
Kamu membuang nafasmu.
“May… Aku sudah bilang. Berhenti sayang sama aku. Ini semua nggak adil buat kamu.”
“Kenapa, Zak?”
“Aku tidak bisa menjelaskan, May.” Zakky memainkan sendok di cangkir kopinya. “Kamu bilang mencintai tidak membutuhkan alasan, lalu mengapa tidak mencintai harus membutuhkan alasan?”
Aku bisa merasakan pipiku basah. Sebelum akhirnya basah sekali.
“Kamu nangis. I’m gonna leave you here.”
Aku mendongak menatap Zakky yang sudah berdiri hendak meninggalkanku. “Jangan pergi, Zak…” ucapku terbata. “Tidakkah kamu ingin memperjuangkan ini, sekali lagi, buat aku, buat kamu, buat kita?”
“Kalau kamu mau yang terbaik buat aku, kamu harus merelakan aku pergi, May.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi selain menangis dan tersedu. Menatap punggung Zakky yang perlahan menjauh.
Aku masih berharap kamu akan menoleh ke belakang.
Namun ternyata kamu tidak melakukannya.
Jadi, di sinilah aku, terduduk bodoh di sudut sebuah kafe mungil di Jakarta Selatan. Terisak perlahan.
Entah antara kalut berat atau sedikit pusing, aku teringat dengan selembar kartu nama yang diberikan stranger asing di pesawat kemarin.
Aku mengambil kartu nama tersebut dari dompetku, membaca sekilas nomer telepon yang tertera di sana, mengambil ponselku dan menekan nomornya.
Nada sambung terdengar, namun nampaknya shock berat karena ditinggalkan begitu saja oleh Zakky membuatku sampai tidak kepikiran untuk berpikir bahwa ini sebenarnya cukup memalukan.
“Halo?” suara di ujung sana menyapa.
“Halo? Eh… ini dengan Davin?”
“Ya? Ini siapa?”
“Ini Maya.”
Terdengar jeda yang cukup lama. “Ya?”
“Bisa jemput aku di Liberica Coffee Kemang nggak?”
 “Hah?”
“Aku sendirian. Nggak bisa pulang.”
“Hah?”
Yang aku tahu, setelah itu aku langsung menutup teleponku. Dan dalam sepersekian detik aku menyadari bahwa yang barusan aku lakukan itu benar-benar nggak tahu malu!
Beberapa menit aku berusaha berpikir keras bagaimana aku harus menjelaskan kejadian barusan ke si stranger bernama Davin itu.
Aku sudah hendak mengirim SMS permintaan maaf ketika aku sadar bahwa nggak mungkin banget Davin akan datang ke kafe ini, menjemput perempuan asing yang dengan seenak dengkul dan jidatnya sendiri minta main jemput seenaknya.
Sudahlah, paling-paling dia jadi ilfil sama aku. Ngapain juga aku mempermalukan diri dua kali dengan minta maaf ke dia. Sudahlah, stranger ini.
Aku memanggil waiter dan memesan segelas wine. Damn you, Liberica Coffee karena menyediakan alkohol di kafe ini.
Sudah, sudah cukup kebodohan yang kamu lakukan hari ini May. Sudah cukup. Lupakan.
Tak berapa lama, pelayan datang membawa pesanan wine-ku. Aku terpekur memandang kosong ke arah gelasku. Memandang kenanganku dengan Zakky.
Selama ini, kamu adalah rumahku. Lalu kalau kamu memutuskan pergi, kemana lagi aku harus pulang?


to be continued...

No comments:

Post a Comment