Thursday, June 13, 2013

Memories


Senja yang indah. Senja yang senyap. Senja yang mengantarku ke tempat-tempat yang mengingatkanku akan kamu.
Aku melewati barber shop mungil di sebuah pojokan jalan tempat kita biasa kerap menghabiskan waktu bersama. Aku ingat bagaimana kamu kemarin mengeluh karena potongan rambutmu jadi aneh banget, dengan poni lempar ke samping yang membuatmu jadi tampak seperti artis korea…. Jadi-jadian.
Tak berapa lama, aku tersenyum sejenak, menatap sebuah kafe kopi, tidak jauh dari barber shop yang tadi. Kafe kopi yang juga mungil dan tidak banyak orang yang tahu. Biasanya kamu akan memesan segelas green tea ice—karena kamu tidak suka kopi.
“Kenapa kamu nggak suka kopi sih? Kopi enak banget begini.” Aku bertanya heran sambil menyesap kopi hitam pekatku. Sebagai seorang fangirl kopi, aku merasa terusik dengan pilihan hidup pacar kesayanganku ini.
“Pahit, Em.” kamu menjawab pendek. “Lagian, kenapa aku harus suka sama minuman yang bikin orang jadi susah tidur? Atau jadi semangat? Atau jadi susah kerja kalo nggak ada kopi? Menderita banget sih hidup ini kalo harus diatur sama segelas minuman.”
Bangsat. Aku mencubit lengannya keras. Dia terbahak.
Aku berjalan beberapa blok lagi dan sampai di sebuah petak taman, terduduk di sebuah bangku kayu tua yang catnya sudah mengelupas disana-sini. Senja di kota ini tidak begitu ramai, tidak banyak juga yang akan datang ke taman ini.
Ingatanku kembali terbang ke saat kita pertama bertemu dulu. Di bangku kayu reot ini. Kamu dengan kamera yang menggantung di lehermu. Aku dengan wajah lepek berkeringat dan handuk yang menggantung. Terengah-engah.
“Mbak, stop mbak, jangan gerak.” kamu tiba-tiba berteriak saat aku tengah nungging melakukan peregangan senam. Seperti yang aku bilang, taman ini sepi, kamu bebas mau beratraksi aneh, senam sendirian sekalipun. Dan keberadaanmu yang tiba-tiba dan nggak tahu malu menyuruhku diam pas lagi nungging ini sedikit di luar kebiasaan.
Tapi kamu ganteng. Dan itulah awal mula kita bertemu. Aku bertemu kamu pertama kali dalam keadaan nungging. Dasar sinting.
Nungging hanyalah awal. Sebelum akhirnya aku merasa luar biasa bersyukur karena dipertemukan denganmu. Laki-laki luar biasa indah yang membuat rutinitasku menjadi hidup. Ketika rutinitas tak lagi hanya sekedar rutinitas, karena selalu ada kamu di setiap selanya.
Untuk pertama kalinya, aku menemukan tujuan pulang.
Tidak banyak cinta yang bisa membuat seseorang merasa hidup. Mungkin, karena cintaku dan cintamu memang selayaknya organisme yang bersimbiosis mutualisme. Tidak bisa hidup jika tidak ada antara satu sama lain. Tidak akan berguna jika tidak ada untuk satu sama lain.
Aku tumbuh bersama cintamu. Dan kamupun begitu. Selalu ada kamu dalam setiap keputusan—baik yang besar maupun yang kecil—yang kuambil. Seperti kepingan puzzle yang selalu berusaha membentuk satu gambaran besar yang utuh. Kamu hanya harus berusaha agar gambar tersebut utuh. Meskipun itu butuh waktu.
Aku tiba-tiba merasa pipiku basah. Lalu basah sekali.
Jika aku telah memiliki cinta yang seperti ini, bagaimana bisa aku melupakannya? Bagaimana bisa aku mengikuti kata-kata orang lain, “Ikhlas, Emma. Hidupmu akan tetap berjalan dengan ataupun tanpa dia.”
Hidupku memang berjalan seperti biasa. Aku makan, mandi, bekerja, tidur. Tapi pernahkah kamu hidup tanpa sedikitpun merasa hidup?
Pernahkah kamu tertawa tapi tak tertawa? Menangis tapi tak menangis?
Kamu ingat kan, bagaimana kita adalah organisme dengan simbiosis mutualisme? Kamu butuh aku untuk hidup, dan akupun begitu.
Lalu mengapa kamu pergi?
Bisakah kamu sendiri tanpa aku?
Baik-baikkah kamu disana?
I miss your touch, Pantja. I miss how you make me alive. Bagaimana kamu bisa mati dan membuat satu organisme hidup lainnya merasa mati?
Aku menatap pusaramu lekat-lekat. Air mataku tak juga kuasa berhenti. Apakah aku menangis? Entah, aku sudah tidak bisa membedakannya lagi.
Ini sudah lima tahun, Pantja.
Dan kamu, ikut membawa jiwaku mati bersamamu.
Orang bilang kenangan tidak akan pernah mati. Aku mungkin yang selama ini bodoh karena tidak bisa hidup hanya dengan kenanganmu. Aku mungkin yang selama ini terlalu manja karena menginginkan jiwamu.

Tunggu aku, aku akan menyusul, entah kapan. Tapi aku akan berjanji, kelak akan menemanimu lagi. Kelak aku akan mati, untuk hidup.

I'd never lived
Before your love
I'd never felt
Before your touch
I'd never needed anyone
To make me feel alive
But then again,
I wasn't really livin'
I'd never lived... before your love
(Kelly Clarkson – Before Your Love)

No comments:

Post a Comment